Cirebon adalah suatu daerah yang berada di paling ujung pinggiran pulau Jawa Barat, serta berada di sisi sebelah tetangga pulau Jawa Tengah, lokasi Cirebon ini termasuk wilayah pantura yang ramai jika waktu mudik tiba, dengan dikenal akan wilayah lautnya. Karena keberadaan tersebut, bahasa yang digunakan rata-rata masyarakat Cirebon tidak hanya bahasa Sunda. Melainkan penggunaan dengan multy bahasa, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Cirebon sendiri. Dengan keadaan seperti itu, Cirebon kadang dijadikan anak tiri pulaunya, ketidak labilan penggunaan bahasanya menjadi olok-olok canda anak-anak muda yang berasalkan benar-benar asli orang Sunda. Keanekaragaman bahasa itu menjadikan keunikan tersendiri yang dimiliki kota ini, tidak hanya itu dengan menggali lebih dalam kota ini, keanekaragaman bahasanya lebih ragam lagi dengan kebudayaan dan seni yang dimilikinya.
Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Yakni adanya keberanian untuk mengadopsi nilai lama dengan nilai baru (saat itu) saat agama Islam mulai diajarkan Sunan Gunungjati. Dalam pentas kesenian panggung, asimilasi budaya terlihat jelas. Nilai budaya masyarakat pantai dipadukan dengan nilai agama. Tak heran jika kenyataan ini mengundang nilai tambah yang patut disyukuri. Artinya postmodernis sudah berlangsung dalam kesenian tradisi Cirebon. Keberanian seniman tradisi memasukkan unsur baru (ajaran agama Islam) pada kesenian lokal agaknya sepadan dengan nilai posmo
Tari Jaran Lumping
Tari Jaran Lumping dahulu disebut juga Tari Jaran Bari dari kata Birahi atau Kasmaran, karena mengajarkan apa dan bagaimana seharusnya kita mencintai Allah dan Rasulnya. Oleh karena itu tarian Jaran Lumping digunakan sebagai alat dalam mengembangkan agama Islam.
Yang menciptakan Jaran Lumping adalah Ki Jaga Naya dan Ki Ishak dari Dana Laya Kecamatan weru, Kabupaten Cirebon. Waditra yang digunakan yaitu bonang kecil, bonang Gede, panglima, Gendang, Tutukan, Gong, dan Kecrek.
Sarana lainnya Damar Jodog, Sesajen, Pedupaan, Bara Api/Aran dan Jaran Lumping 5 buah yaitu Jaran Sembrani, Jaran Widusakti, Jaran Widujaya, Jaran Sekadiu.
Busana Busana penari menggunakan ikat wulung gundel meled, udeng merah, sumping kantil dan melati,selendang, rompi, celana sontok, kestagen atau bodong dan kain batik.
Tari Tayuban
Tari Tayuban konon lahir di lingkungan kraton dan digunakan untuk menghormati tamu-tamu agung juga digunakan untuk acara-acara penting seperti pelakrama agung (perkawinan keluarga Sultan), tanggap warsa, peringatan ulang tahun, papakan, atau sunatan putra dalem.
Tayuban kemudian menyebar dan berkembang di masyarakat dengan pengaruh negatif baik datangnya dari luar maupun dari dalam.
Waditra yang digunakan adalah laras pelog, gendang, bedug, saron, bonang dsb. Wiyaga berjumlah 15 orang.
Busana Wiyaga bendo, baju taqwa, kain batik dan celana sontok. Busana Ronggeng kembang goyang, melati suren, sanggung bokor, cinatok, sangsangan, krestagen dan alat perhiasan.
Tari Berokan
Tari Berokan atau Barongan adalah jenis kegiatan yang menggunakan alat utama berokan atau barongan yaitu suatu bentuk tituan kepada binatang singa dan tiruan badan Singa Duga yang dimainkan oleh seorang dalang yang menyusup ke dalam tiruan tubuh raksasa sambil mengoceh dengan meniup terompet yang disimpan di dalam mulut.
Fungsi kesenian ini adalah menyebarkan agama Islam di Cirebon tempo dulu. Waditra yang digunakan adalah terbang, gong, bambu, terompet, gendang dsb.
Tari Wayang
Tari wayang mulai dikenal masyarakat pada masa kesultanan Cirebon pada abad ke-16 oleh Syekh Syarif Hidayatullah, yang kemudian disebarkan oleh seniman keliling yang datang ke daerah Sumedang, Garut, Bogor, Bandung dan Tasikmalaya.
Berdasarkan segi penyajiannya tari wayang dikelompokkan menjadi 3 bagian antara lain :
1. Tari Tunggal yaitu tarian yang dibawakan oleh satu orang penari dengan membawakan satu tokoh pewayangan. Contoh : Tari Arjuna, Gatotkaca, dan lain-lain.
2. Tari berpasangan, yaitu tarian yang dibawakan oleh dua orang penari atau lebih yang keduanya saling melengkapi keutuhan tariannya, contoh : Tari Sugriwa, Subali dan lain-lain.
3. Tari Massal yang berjumlah lebih dari satu penari dengan tarian atau ungkapan yang sama.
Contoh : Tari Monggawa, Badaya, dan lain-lain.
Tari Ronggeng Bugis
Ronggeng Bugis atau Tari Telik Sandi adalah salah satu tari tradisional yang bersifat komedi dari Cirebon. Tarian ini bersifat komedi karena dimainkan oleh penari laki-laki sebanyak 12 - 20 orang dengan dandanan dan gaya menari layaknya perempuan. Namun jangan salah walaupun bergaya wanita, makeup yang dipergunakan oleh penari tidak kelihatan cantik justru bisa dibilang mirip baduk yang mengundang gelak tawa.
Asal mula tari Ronggeng Bugis, dilatarbelakangi ketegangan yang terjadi antara kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Islam. Sunan Gunung Djati sebagai Raja Cirebon saat itu menyuruh seorang kerabat kerajaan yang berasal dari Bugis untuk memata-matai atau saat itu dikenal dengan istilah telik sandi Kerajaan Pajajaran. Waditra atau pengiring musik yang dipakai pada pertunjukan tari telik sandi atau ronggeng bugis ini adalah alat musik tradisional jawa barat antara lain Kelenang, Gong kecil, Kendang, Kecil, dan Kecrek.
Tari Topeng
Tari Topeng pada mulanya hanya menjadi tontonan di lingkungan Kraton sebagai tuntunan dalam penyebaran ajaran agama Islam kepada masyarakat.
Tari Topeng ini sudah ada jauh sejak abad 10-11M yaitu pada masa pemerintahan Raja Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan Seni Tari Topeng ini masuk ke Cirebon dan mengalami akulturasi dengan kebudayaan setempat.
Pada masa Kerajaan Majapahit dimana Cirebon sebagai pusat penyebaran agama islam, Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakn Tari Topeng ini sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama islam dan sebagai hiburan di lingkungan Keraton.
Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh satu penari tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mendeskripsikan bahwa kesenian topeng Cirebon merupakan penjabaran dari cerita Panji dimana dalam satu kelompok kesenian topeng terdiri dari dalang (yang menarasikan kisahnya) dan enam orang pemuda yang mementaskannya diiringi oleh empat orang musisi gamelan
Gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, merupakan ciri khas lain dari tari topeng.
Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya.
0 Komentar