Tari Topeng Cirebon ini ada beberapa gaya tarian, tarian ini diakui secara adat. Gaya tarian ini adalah gaya tarian yang berasal dari desa-desa di tempat kesenian ini lahir. Namun, desa yang lainnya yang juga diakui secara adat menciptakan gaya baru, lepas dari gaya lainnya. Berikut gaya-gaya yang ada dalam kesenian ini berasal dari wilayah kelahirannya, yang sudah dirangkum oleh Pena Kecil salah satunya adalah Tari Topeng gaya slangit.
Tari Topeng Cirebon gaya Slangit utamanya terpusat disekitar desa Slangit, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon, gaya inilah yang kemudian digunakan dan dikembangkan menjadi gaya tari Topeng Cirebon pada sanggar kesenian Sekar Pandan milik kesultanan Kacirebonan.
Pada era tahun 80-an, sekitar tahun 1986 seorang peneliti asing bernama Pamela Rogers-Aguiniga telah mendokumentasikan secara mendetail berbagai dinamika dari tari Topeng Cirebon gaya Slangit melalui bimbingan Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit).
Tari Topeng Cirebon merupakan salah satu hasil apresiasi dari kesenian Jawa. Kesenian topeng Cirebon dijadikan media penyebaran dengan cara bebarang dari satu tempat ke tempat lain oleh para Wali. Sehingga saat ini pengaruh dari pertunjukan bebarang tersebut adalah banyaknya gaya menari tari topeng di beberapa daerah khususnya Cirebon.
Salah satu gaya menari tari topeng Cirebon adalah gaya Slangit. Penamaan akhiran nama daerah misalnya desa Slangit pada istilah gaya, menentukan asal gaya daerah tersebut hidup dan berkembang. Salah satu faktor kekhasan dalang topeng dalam menyajikan tari topeng dilihat dari gawe jogedan. Dalam menampilkan gawe jogedan, diperlukan perbendaharaan gerak yang beragam.
Dengan demikian diperlukan metode pembelajaran berupa nyantrik pada dalang topeng. Tujuan dari nyantrik ialah mempelajari ragam gerak tari topeng sehingga selain mempelajari teknik dan bentuk gerak yang benar, mahasiswa dapat menyusun, memadatkan dan mengolah sajian tari topeng.
Tari topeng Klana merupakan salah satu karakter topeng dengan penggambaran seseorang yang memiliki sifat buruk, serakah, penuh amarah, dan tidak bisa mengendalikan hawa nafsu. Bentuk dan sikap geraknya lebar, tegas, dan besar menyirikan orang yang penuh dengan keyakinan besar dan kuat.
Musik pengiring
Musik pengiring yang digunakan dalam tari Topeng Cirebon gaya Slangit merupakan musik-musik khas gamelan Cirebon, berikut urutannya;
-Tetaluan, dikenal juga dengan nama gagalan merupakan tabuhan gamelan yang dimainkan sebelum penari atau dalang topeng muncul pada panggung tari.
-Kembang Sungsang, merupakan lagu pengiring yang digunakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng pada babak Panji.
-Singa Kawung, merupakan lagu pengiring yang digunakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng pada babak Samba.
-Kembang Kapas, merupakan lagu pengiring yang digunakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng pada babak Rumyang.
-Tumenggungan, atau dikenal dengan nama bendrong merupakan lagu pengiring yang digunakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng pada babak Tumenggung atau Patih.
-Gonjing, merupakan lagu pengiring yang digunakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng pada babak Klana.
Babak tarian
Pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Slangit terdiri dari lima babak yaitu ;
-Panji, dalam babak yang satu ini cerita tentang karakter manusia yang baru lahir. Watak dari karakter ini adalah manusia yang halus dan sering disamakan dengan Arjuna yang terdapat dalam cerita Mahabharata.
-Samba (Pamindo), babak kedua dalam gaya Gegesik ini menceritakan tentang karakter anak-anak.
-Rumyang, babak ketiganya menceritakan karakter yang sedang bergejolak jiwa muda yang menuju kedewasaan.
-Tumenggung, dalam babak ke empat ini diceritakan tentang manusia yang sudah dewasa.
-Klana, babak terakhir dalam tarian ini menceritakan tentang manusia yang memiliki amarah jahat di dalam dirinya atau disebut dengan dursila.
Menurut tafsiran dari Ki dalang Sudjana Arja, dalam gaya Slangit ini dibagi ke dalam tiga fase.
-Fase yang pertama yaitu fase saat pertumbuhan jasmani atau badan dari manusia dari bayi sampai dewasa.
-Lalu ada suasana kebatinan, dimana si manusia ini menggunakan fungsi dari indranya dalam komunitas sosialnya.
-Dan yang terakhir ada makna keagamaan yang ditunjukkan tentang sifat dan juga perilaku dari manusia secara simbolis.
Ki dalang Sudjana Arja menafsirkan pagelaran topeng Cirebon gaya Slangit kedalam tiga fase yaitu pertumbuhan jasmani manusia (dari mulai bayi hingga dewasa, suasana kebatinan manusia di mana manusia mempergunakan fungsi indranya dalam komunitas sosialnya dan makna keagamaan yang ditunjukan secara simbolis mengenai sifat dan perilaku manusia.
Gerakan tari
Gerakan tari yang menjadi ciri khas dari gaya Slangit adalah gerakan bahu dan pinggang yang kuat serta gesit dan mendetail dalam setiap perpindahan geraknya, dikarenakan urutan gerakannyayang sangat mendetail maka gaya Slangit dijadikan sebuah acuan dalam pengajaran tari Topeng Cirebon dalam lingkup akademis.
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Slangit
Dalang tari pada gaya Slangit yang terkenal di masyarakat hampir seluruhnya merupakan keturunan dari keluarga Arja, salah satu yang masih aktif melestarikan dan juga sebagai pengajar formal adalah Keni Arja (saudara almarhum Ki Sujana Arja), perjuangan keluarga Arja pada masa lalu dalam mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari bukanlah sebuah hal yang mudah,
setelah kematian enam saudaranya hanya tinggal Ki Sujana Arja dan Keni Arja yang berjuang mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari, karena dari sembilan orang anak keturunan Ki Dalang Arja hanya delapan orang yang kemudian menjadi seniman tari Topeng Cirebon, baik sebagai nayaga (penabuh gamelan) atau sebagai dalang topeng, di antara sembilan orang anak Ki Dalang Arja hanya Durman yang tidak menjadi seorang seniman Topeng Cirebonan.
Perjuangan almarhum Ki Sujana Arja dan adiknya Keni dalam upaya melestarikan gaya Slangit dimulai dari Bebarangan yakni mengamen topeng dari kampung ke kampung dan memenuhi panggilan pentas,
ditengah terjepit dalam sulitnya mempertahankan tari Topeng Cirebon gaya Slangit yang sepi dari panggilan pentas, kelompok tari Topeng Cirebon juga pada masa itu (sekitar tahun 1960-an) dihadapkan dengan tuduhan bahwa mereka terkait dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S).
Sehingga menyebabkan ada beberapa kelompok tari Topeng Cirebon yang memilih untuk membubarkan diri karena takut dikait-kaitkan dengan gerakan tersebut, tetapi karena berniat untuk melestarikan gaya Slangit maka Ki Sujana Arja beserta saudaranya Keni Arja tetap melakukan pagelaran untuk membuktikan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Slangit mampu bertahan dalam segala perubahan.
Setelah meninggalnya Ki Dalang Sujana Arja, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Slangit diteruskan oleh kedua puteranya, yaitu Inu Kertapati dan Astori, serta dalang-dalang topeng Cirebon gaya Slangit lainnya seperti Miah, Maskeni, Karmina, Wiyono (putera dari Keni Arja), Nunung Nurasih, Oliah, Iin, dan Turini.
0 Komentar