Para anggota komunitas sepeda National Geographic Indonesia dan
Pertabike Pertamina EP Asset 3 begitu bersemangat mengayuh sepeda menuju
Sanggar Tari Mimi Rasinah di Desa Pekandangan, Kecamatan Indramayu.
Mimi Rasinah, pendiri sanggar tersebut, merupakan maestro
tari topeng yang berasal dari Indramayu. Ia terlahir dari keluarga seniman yang
menekuni tari topeng secara turun temurun.
Awalnya, tari topeng hanya ditarikan oleh pria, sedangkan
para wanita menarikan tari ronggeng. Namun karena tari ronggeng identik dengan
tarian untuk menggoda pria, maka untuk menyelamatkan kehormatan anaknya, ayah
Rasinah pun memutuskan untuk mengajarkan tari topeng ke putrinya.
Perjalanan Mimi Rasinah dengan tari topeng yang dicintainya
ini tidak selalu berjalan mulus. Saat zaman penjajahan Jepang, rombongan topeng
ayahnya sempat dituduh sebagai mata-mata sehingga sebagian topeng dan aksesoris
tari topeng dimusnahkan.
Lepas dari penjajahan Jepang, semua kesenian rakyat,
termasuk tari topeng, dilarang tampil pascaperistiwa G30S. Ini karena kesenian
rakyat identik dengan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selama 20 tahun, tari topeng seakan tertidur. Selendang dan
topeng pun digantung begitu saja. Saat itu, Mimi Rasinah hanya bermain gamelan
untuk mengiringi pertunjukan sandiwara suaminya.
Namun, pada 1994, tari topeng Mimi Rasinah “ditemukan”
kembali oleh dosen STSI Bandung. Tariannya yang indah menghipnotis mereka.
Melihat hal itu, Rasinah bangkit dan mulai melestarikan kembali tari topeng
dengan mengajar ke sekolah-sekolah di Indramayu hingga bertahun-tahun.
Turun temurun
Tari topeng menjadi produk budaya turun temurun.
Rahmad Azhar Hutomo
Tari topeng menjadi produk budaya turun temurun.
Kini, di penghujung usianya, Mimi Rasinah membutuhkan
pengganti. Wahyu penari membutuhkan ‘tubuh’ yang baru. Awalnya, tari topeng Mimi Rasinah akan
diwariskan kepada anaknya yaitu Mimi Wacih. Namun, karena Wacih bekerja di luar
negeri untuk menghidupi keluarganya, maka Rasinah pun menyarankan Aerli, sang
cucu, untuk menjadi penerus.
Jalan untuk menjadi penerus Mimi Rasinah tidaklah mudah.
Sebagai syarat untuk menjadi penerus Mimi Rasinah, Aerli harus bebarangan atau
mengamen tari topeng di tujuh tempat berbeda dalam sehari. Ia juga digembleng
dan melalui beragam ujian dari sang nenek.
Selain itu, Aerli juga sempat dihantui rasa minder karena
pernah mengalami luka bakar di sekujur tubuh ketika kecil. Karena tidak percaya
diri dengan kondisi fisiknya, ibu dua anak ini sempat berhenti menari selama
beberapa tahun.
Kala itu, Mimi Rasinah lah yang paling sabar menemani dan
merawat Aerli. Sang nenek tak henti-hentinya menyemangati Aerli untuk keluar
dari rasa minder, takut, dan malu karena memiliki bekas luka bakar yang cukup
parah.
“Awalnya malu sekali,
tetapi saya ingin menunjukkan kepada orang bahwa begini lho wajah saya di balik
topeng. Tidak selalu cantik dan sempurna.Tidak selalu enak dipandang. Namun,
dengan segala kekurangan itu saya ingin membuktikan bahwa saya masih bisa
menari dengan baik” kata Aerli.
Aerli berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk
keberlangsungan tari topeng. Mandat Mimi Rasinah tidak dianggapnya sebagai
beban lagi. Dukungan keluarga sangat berarti bagi Aerli. Suaminya, Ade Jayani,
yang merupakan seorang seniman tari topeng Cirebon, memutuskan untuk membantu
Aerli mengembangkan tari topeng di Indramayu.
Kedua anak mereka, Walan dan Wulan, pun akhirnya mengikuti
jejak orang tuanya. Mereka telah diajarkan tari topeng dan gamelan sejak dini.
Melestarikan tari topeng
Menurut Aerli, tongkat estafet kesenian ini harus diteruskan
ke generasi selanjutnya. Untuk melestarikan tari topeng, khususnya di wilayah
Indramayu, Sanggar Tari Mimi Rasinah bekerja sama dengan PT Pertamina EP Asset
3 Jatibarang Field, melaksanakan tiga kegiatan utama. Yakni, pelatihan tari
topeng, gamelan, serta pembinaan kelompok pengrajin topeng bagi siswa-siswi di
kabupaten Indramayu.
0 Komentar